Kunci untuk bertahan adalah melambaikan tangan dan membiarkan udara menyelesaikannya, membawanya pada realita dan senandung merdu masalah yang sedang membentang tinggi. Mencintai berarti rela mengorbankan, bahkan untuk hal yang memang tak abadi itu. tanpa alas kaki, Tare menyerap dingin kayu tua, tetapi lehernya terasa panas hingga masuk ke lingkup kepalanya. Ia menjerit “Lepas tangan hinamu dari saya!” Rome tidak berhenti untuk membuat gadis itu mengerti bahwa kesalah pahaman berada di antara mereka, “jangan berhenti sekarang,” bisik Rome tepat di tengkuknya membiarkan Tare untuk tetap menari bersamanya.
Mereka menari di antara nada-nada klasik dan jeritan para penyanyi wanita tua, itulah yang dinantikan para penonton, mereka menginginkan sesuatu yang lebih dari dua pemain latar yang tidak berhenti bergerak dan terlena akan suasana di antara keduanya. Tare dan Rome, itulah yang dilihat banyak mata yang lapar akan kehilangan cinta dan bahasan drama tragis. “saya tinggalkan wanita itu,” bisik Rome dan Tare merinding, semakin merasa buruk bahwa ia sedang kesal akan laki-laki itu, tetapi raganya melangkah bersama, menapak pada tapakan-tapakan keterpaksaan. “kamu bodoh? Biarkan dia,” hanya itu yang dapat dibisikan Tare dengan wajah menunduk malu, ia ingin segera menyelesaikan tugasnya dengan benar.
Rome tidak dapat asal berbicara, karena mereka tengah dipertontonkan, bibir mereka menjadi saksi beribu mata dan itu membuatnya kelu. Ia menatap nanar wajah cantik Tare yang menyisipkan duka mendalam, ini memang salahnya, Tare sama sekali tidak pantas untuk dipermainkan seperti perempuan lainnya yang sering bersamanya “Tare…” panggil Rome lirih, ia memutar pinggang Tare dan membantu gadis itu merentangkan kakinya lebar-lebar sejajar dengan kayu panggung. Kemudian ia menarik gadis itu berdiri dan mereka saling bertatap muka, “Saya mencintaimu, selalu begitu,” napas Rome menghembus wajah Tare, Tare memejamkan matanya tidak kuasa. “kamu meninggalkan saya, Rome,” kata Tare kemudian. Musik mengalun cepat dan pada saat itu mereka tersadar untuk menari dengan gerakan cepat sebagaimana melodi membawa mereka.
“jangan dengarkan mereka, saya sudah berubah, saya bukan saya yang dulu,” kata Rome cepat, Tare membuang mukanya kesal, alasan!
“lihat saya Tare, tatap saya!” bisik Rome dan tidak diindahkan oleh Tare, dia terlalu lemah untuk berpikir, dia tidak bisa membuat perhitungan lagi, akankah hubungan mereka berakhir disini?
“Saya ingin putus,” bisik Tare akhirnya, dan Rome terpaku di tapakkannya, tidak tidak, jangan putus, mereka tidak boleh putus hanya karena wanita jal*ng itu. melihat Rome yang diam tak bergerak, membuat para penonton mengernyitkan kening mereka tidak mengerti, hingga Tare menarik tangan Rome dan meletakannya ke belakang tubuhnya, untuk kembali menari.
“setelah apa yang kita lakukan?” Tanya Rome tepat di telinga Tare, Tare merasakan darahnya berdesir, Rome selalu tau titik sensitifnya. Tare pun berbalik kaku, tangan Rome turun ke pinggangnya.
“Lalu? Bukankah ini yang sudah lama kamu nantikan?” Tanya Tare.
“Maafkan saya Tare, saya tidak bermaksud menyakitimu,” kata Rome membuat Tare mendengus kesal, melodi musik merendah, mereka berputar-putar di atas panggung. Tare harus meletakan kepalanya di dada Rome untuk mengurangi pening di kepalanya.
“Aku bukan lagi milikmu Rome,” kata Tare, “Kata-kata ini dari dasar penjara hati saya, Dia akan menghubungimu suatu hari nanti?”
“Saya tidak peduli, saya tidak akan meninggalkanmu, saya butuh kamu, saya menyesal,” kata Rome. Tare langsung mendorong dada Rome keras, hampir saja Rome kehilangan keseimbangannya, penonton memekik kaget, tetapi penyanyi wanita tua dapat menenangkan mereka.
“Jaga tubuh anda dari saya!” jerit Tare tidak kuasa, lagi-lagi. Rome menyeret langkahnya tetap bersikap professional, menghampiri Tare dan memutar tubuh gadis itu hingga Rome dapat merasakan gemetar punggung Tare, gadis itu menangis. Penyanyi wanita tua, menjeritkan nada-nada monoton sehingga Rome menyentakan langkahnya membawa Tare sebagai mana melodi membawa mereka.
“Kamu ingat?,” bisik Rome, “napas panasmu, sentuhan lembutmu, masih sama seperti pertama bertemu,” lanjutnya, Tare menggeleng pelan.
“wanita itu menginginkanmu, dia… bengis” kata Tare, Rome membelai sisi-sisi lengan Tare, memutar Tare, mereka kembali saling bertatapan.
“Saya menginginkamu lebih dari apapun, lebih dari bengisnya wanita itu. Saya tidak akan melepasmu walau kamu menjeritkannya pada saya,” kata Rome tegas, tatapannya menajam, auranya berubah dingin, Tare berhadapan dengan beruang yang lama tenggelam. Rome menarik lengan Tare mendekat, “Saya tidak pernah, tidak pernah, tidak pernah
Ingin jatuh cinta dengan siapa pun kecuali kamu,” dan Tare mencium aroma tubuh napas Rome yang semakin dekat.
Ingin jatuh cinta dengan siapa pun kecuali kamu,” dan Tare mencium aroma tubuh napas Rome yang semakin dekat.
“Kamu membuat saya sedih… Kamu membuat saya kuat… Kamu membuat saya marah. Kamu membuat saya muak… Kamu membuat Saya lama untukmu… Kamu membuat saya hidup… Kamu membuat saya mati… Saya menangis untukmu,” Kata Tare suaranya menari-nari di panggung.
“Saya ingin memutus rantai yang kamu letakan di sekitar saya,” Kata Tare akhirnya, mereka menari, terus menari, penonton ternganga pada gerakan tanpa jeda yang terus mengalir, terus mengalun, indah, sunyi, mengerikan…
“Sebelum hari saya bertemu kamu, Hidup begitu tidak baik, Tapi cintamu adalah kunci untuk ketenangan pikiran saya, Karena kamu membuat saya merasakan cinta,” kata Rome cepat. “Terkadang saya lupa, bahwa mawar tak kan mekar kedua kalinya, maafkan aku, aku lepas dengan dia, dia satan,” lanjut Rome, kali ini Tare tak dapat lepas, Rome memeluknya kuat, menuntun langkahnya erat, Rome tidak membiarkan ia bergerak bebas sedikit pun tanpa tuntunannya.
“Lepaskan saya… Relakan saya,” kata Tare.
“Tidak Tare, kamu milik saya, selamanya…” kata Rome.
“Pergilah, kejar dia, putuskan saya,” kata Tare.
“Tidak…, kita tidak bisa lepas, kita tidak bisa pisah, karena suka cita kitalah yang akan mengisi bumi Dan akan berlangsung sampai akhir waktu cinta kita, dan tetap berlangsung sampai akhir waktu,” Kata Rome. Tare lemah, ia bimbang, ia mengingkan Rome, di lain sisi Rome telah mengkhianatinya.
“Kamu mencintai wanita itu,” kata Tare pada akhirnya, dalam gerakan mereka yang cepat dalam napas mereka yang memburu.
“Tidak, saya tidak mencintanya, bagaimana saya harus membuktikannya, Tare, katakan,” Rome hampir kehilangan kendalinya pada Tare. Tare menggeleng.
“Lakukan Rome, ini tidak cukup! Tidak cukup!” bisik Tare, Rome menelan ludahnya yang membatu.
“Tarik belati saya! Tusuk saya!” kata Rome, Tare menggeleng. “kamu akan mendapati saya sebagaimana yang kamu mau,” katanya kemudian. Tare menarik napasnya dalam-dalam, kepalanya terantuk-antuk. “Saya mencintaimu, Tare,” kata Rome lirih, mereka kembali berpandangan, putaran mereka semakin melambat, melambat dan melambat menyisahkan gemuruh akhir dari penyanyi wanita tua.
“Saya juga mencintaimu, Rome,” Kate Tare pada akhirnya, tersenyum miris dengan keadaan mereka. Musik pun berhenti, mereka masih saling berpelukan erat, semakin erat. Melihat wajah Tare yang dekat, yang kuning karena tertimpa sorotan, Rome mencium bibir Tare posesif. Penonton berdiri dan memberi tepukan, tepukan yang panjang, yang menderu, yang sebenarnya tidak pernah mengerti bagaimana akhir dari teater cinta itu.

0 komentar:
Posting Komentar